PRO DAN KONTRA PERMENRISTEK 12 TAHUN 2024

Kamis, 11 Apr 2024 | 09:28:18 WIB


PRO DAN KONTRA PERMENRISTEK 12 TAHUN 2024

PRO & KONTRA PERMENRISTEK 12 TAHUN 2024
Pramuka: Wajib VS Sukarela
Oleh; irham

Sejak peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) nomor 12 tahun 2024 diterbitkan maret lalu, langsung mengguncang dunia Kepramukaan Indonesia. Keadaan ini dipicu oleh pernyataan dalam bab V ketentuan penutup Pasal 34 huruf h yang mencabut permendikbud nomor 63 tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan Sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler Wajib Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Mengengah. 

Berbagai reaksi ditunjukkan oleh masyarakat baik anggota Pramuka, pengurus Kwartir, praktisi pendidikan dan masyarakat umum lainnya. Kwarda Jawa Barat termasuk paling awal menanggapi polemik ini. Dikutip dari https://rejabar.republika.co.id/ Ka.Kwarda Jawa Barat Atalia Praratya, alasan penolakannya terhadap Permenristek ini diantaranya didasarkan pada perjalanan sejarah dari 1912 hingga dikokohkan dengan instruksi Presiden Soekarno pada tahun 1961 yang melebur lebih dari 100 organisasi kepanduan di Indonesia menjadi Pramuka. Selain itu, menurutnya Gerakan Pramuka juga menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, menjaga dan membangun negara kesatuan republik Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta lingkungan hidup.

Hal senada juga diungkapkan oleh mantan Menkopolhukam Prof. Mahfud MD. Dikutip dari https://www.cnbcindonesia.com/, beliau mengatakan “Saat di Polhukam saya malah mengusulkan agar Pramuka dikuatkan posisinya dan dinaikkan aggarannya. Filosofi pendidikan kita mencerdaskan kehidupan yang mencakup otak dan watak, intelektualitas dan moralitas, skill dan kelembutan hati”.

Disisi lain, Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti mengemukakan pendapat yang berbeda. Dikutip dari https://tirto.id/, Retno berpendapat kebijakan pemerintah membuat Pramuka sebagai ekstrakurikuler sukarela justru sudah sejalan dengan UU Nomor 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Dalam UU tersebut juga dinyatakan bahwa Pendidikan Kepramukaan merupakan salah satu Pendidikan nonformal yang menjadi wadah pengembangan potensi diri.  Ekskul seperti Pramuka, seharusnya tidak dipaksa sebagai kewajiban. Namun, Pramuka sebagai pilihan siswa sesuai kerelaan, minat, bakat dan potensi anak.

Pernyataan ini dikuatkan oleh Wapres Ma’ruf amin. Dikutip dari https://nasional.tempo.co/, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan Permendikbud Nomor 12 Tahun 2024 yang mencabut Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah tidak perlu dipermasalahkan. Pramuka dapat menjadi opsi sesuai dengan minat siswa. Dengan pilihan itu, yang masuk Pramuka dia  benar-benar punya niat keinginan. Itu akan lebih baik lagi, Nah tinggal lagi nanti supaya pembinaannya lebih baik lagi”, ujar Ma’ruf.

Melihat pelemik yang ada, pada tanggal 1 April Kemendikbudristek menanggapinya dalam siaran pers nomor 100/sipers/A6/IV/2024. Dalam siaran pers tersebut dinyatakan bahwa Permendikbudristek nomor 12/2024 tidak mengubah ketentuan bahwa Pramuka adalah ekstrakurikuler yang wajib disediakan sekolah. Sekolah tetap wajib menyediakan setidaknya satu kegiatan ekstrakurikuler, yaitu Pramuka. Kemendikbudristek berdalih bahwa hanya merevisi bagian pendidikan Kepramukaan dalam Model Blok yang mewajibkan perkemahan menjadi tidak wajib. Namun demikian jika satuan pendidikan akan menyelenggarakan kegiatan perkemahan, maka tetap diperbolehkan. Undang-undang nomor 12 / 2010 menyatakan bahwa gerakan Pramuka bersifat mandiri, sukarela dan nonpolitis. Sejalan dengan itu Permendikbudristek mengatur bahwa kikutsertaan murid dalam kegiatan ekstrakurikuler termasuk Pramuka bersifat suka rela. Dalam RDP antara komisi X DPRRI bersama menteri dikbudristek Nadim Makarim juga menegaskan bahwa Pramuka adalah ekskul yang wajib diselenggarakan oleh sekolah, tapi tidak wajib bagi semua siswa untuk mengikutinya.

Menurut hemat penulis, dari pertentangan pendapat ditas, apakah Pramuka diselenggarakan atas dasar keawajiban ataupun dengan suka rela merupakan opsi yang perlu dicermati lebih dalam. Perlu adanya dialog yang lebih serius untuk menanggapi pendapat-pendapat tersebut. Perlu didudukkan stake holder yang terlibat dalam kepentingan ini agar jelas duduk tegaknya Pramuka diindonesia. Pemerintah sudah jelas mencabut Permendikbud nomor 63 tahun 2014 dan menggantinya dengan permendikbudristek nomor 12 tahun 2024. Pemerintah berdalih sedang menegakkan undang-undang nomor 12 tahun 2010 dimana keikutsertaan Pramuka bersifat mandiri, sukarela dan non-politis.
Sementara kelompok yang tidak setuju dengan dicabutnya Permendikbud nomor 63 tahun 2014 berdalih bahwa, Pramuka sudah mengiringi perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia dan mampu mengangkat nilai-nilai patriotisme khususnya bagi generasi muda Indonesia. Kedua pendapat ini adalah sama-sama benar adanya, baik secara fakta maupun secara tekstual. Oleh karena itu, izinkan penulis membedah kedua pendapat ini. Setidaknya menurut pemikiran penulis.

Pertama mengenai pendapat pemerintah yang menganggap keikutsertaan Pramuka didasarkan secara sukarela. Menurut penulis, relevansi kepramukaan pada hari ini adalah tentang bagaimana menyalurkan minat dan bakat generasi muda kepada sesuatu yang dapat membangun karakter kepribadian sebagai penerus bangsa. Jika keikutsertaaan Pramuka dilaksanakan secara suka rela, maka lembaga-lembaga pendidikan kepramukaan harus berpikir out of the box dan berbenah diri agar Pramuka dilirik oleh generasi muda sebagai tempat yang menantang dan menyenangkan dalam berkegiatan. Hari ini banyak lembaga non pemerintah (NGO) telah menduplikasi dan me-revisi pola kegiatan pendidikan Kepramukaan kedalam organsisasi mereka. Mereka melakukan ini demi menarik minat masyarakat khususnya kaum milenial untuk dididik dan membentuk karakter sesuai dengan arah organisasi mereka.  Demi tegaknya undang-undang nomor 12 tahun 2010 dan dengan semangat kemandirian, Kwartir dan Lembaga pendidikan Kepramukaan yang ada harus bekerja ekstra keras dan berinovasi agar generasi muda dengan suka rela ikutserta dalam kegiatan kepramukaan. Sebenarnya tidak ada salahnya juga jika keikutsertaaan Pramuka disasarkan atas kemandirian dan sukarela. Ini adalah cara pandang kita dalam menyikapi perubahan dan tantangan masa depan. Keyword nya adalah inovasi dan kerja keras.

Kedua mengenai pendapat kelompok yang mewajibkan penyelenggaraan pendidikan Kepramukaan di satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai Permendikbud 63 tahun 2014. Menanggapi hal ini, penulis memulainya dengan sebuah pertanyaan; Siapkah lembaga pendidikan, Kwartir dan pemerintah untuk melaksanakannya?. Pemerintah diharapkan menjadi tulang punggung atas eksistensi kepramukaan Indonesia. Pasal 36 huruf b dan c undang-undang nomor 12 tahun 2010 telah mengamanahkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyediakan semua keperluan pendidikan kepramukaan. Pada kenyataannya masih ada saja calon pelatih atau Pembina yang secara mandiri memperoleh sertifikasi profesinya sebagai pelatih dan Pembina Pramuka. Atau ada saja Gugus Depan yang secara mandiri melengkapi fasilitas pendidikan kepramukaannya. Padahal jika mengacu kepada undang-undang tersebut diatas, maka semua perangkat pendidikan mulai dari ketersediaan pelatih/Pembina, dan fasilitas kegiatan mestinya disediakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Fakta yang mencengangkan lagi adalah bahwa dana yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya sampai kepada rekening Kwartir. Itupun dipakai untuk kegiatan operasional kantor dan sebagian lagi kegiatan yang bersifat kolektif. Lalu bagaimana dengan Gugus Depan sebagai ujung tombak pendidikan Kepramukaan yang katanya wajib diikuti oleh setiap siswa?. Dari informasi yang penulis dapatkan, dana kepramukaan di Gugus Depan umumnya diambilkan dari dana BOS. Dari sinilah fasilitas pendidikan Kepramukaan dilengkapi, termasuk didalamnya honorarium bagi Pelatih/Pembina yang memimpin jalannya kegiatan Kepramukaan di Gugus Depan. Ini sangat miris, dimana dana BOS yang tak seberapa itu sejatinya diperuntukkan bagi kegiatan operasional sekolah dan honorarium guru, juga dibebani dengan keperluan Pramuka yang jumlahnya tidak sedikit. Hingga saat ini khususnya di Sumatera Barat belum ada anggaran yang dikhususkan bagi Kepramukaan langsung turun ke rekening sekolah sebagai penunjang kegiatan Kepramukaan di Gugus Depan. Baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 
Tidak bisa kita hanya berdalih bahwa Pramuka mampu membangun karakter dan nilai-nilai moral kebangsaan. Sementara zaman sudah mulai menuntut banyak atas generasi muda yang sedang berjuang menapaki masa depannya. 

Jika menyimak pernyataan menteri Nadim Makarim dalam rapat bersama komisi X DPR-RI, bahwa Pramuka adalah ekskul yang wajib diselenggarakan oleh sekolah. Penulis membacanya bahwa sekolah wajib menyediakan lembaga Kepramukaan walaupun keikutsertaan peserta didiknya bersifat sukarela. Jika pemerintah bersikukuh dengan dalih menegakkan UU-GP nomor 12 tahun 2010, maka tidak cukup hanya sampai pada pasal 20 ayat 1 saja. Akan tetapi harus konsisten juga dengan menegakkan pasal 36 khususnya pada huruf B dan huruf C dalam undang-undang tersebut.

Dibalik perdebatan itu semua, ada sebuah tanda Tanya besar bahwa apakah Pramuka masih relevan bagi generasi muda sekarang dan masa depan ?

Wassalam….


DIUNGGAH : Pramuka Sumbar Dibaca : 121 kali
EDITOR : Pramuka Sumbar

    Tinggalkan Balasan

    Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *